Untuk Usaha Kecil Menengah

Bahan Bacaan


Klik Gambar

Industri Periklanan Indonesia Butuh TNI

Oleh : Budiman Hakim – Executive Creative Director MACS909
Sumber : milis creative circle indonesia

Beberapa hari setelah tulisan saya di Adoi dimuat, saya kebanjiran sms, email dan telepon. Isinya sebagian protes, sebagian hujatan dan sisanya pujian. Yang protes dan menghujat merasa saya memojokkan mereka. Yang memuji karena menaruh simpati atau merasa terwakili uneg-unegnya yang terpendam dalam dirinya selama ini.

Yang bikin saya heran, banyak orang kurang menangkap intinya. Sebagian mengira saya menentang keberadaan media spesialis. Sebagian lain menyangka saya lagi mengekspos PHK. Bahkan tanggapan Narga Habib dalam artikelnya di Adoi tidak menyinggung daging tulisan saya. Entah tidak menangkap pesannya tapi tampaknya dia lebih sibuk berpromosi tentang advertising agency-nya sendiri.

Tulisan saya ruang lingkupnya lebih besar daripada itu. Ini masalah industri yang perlu diselamatkan. Karena itulah kita, media periklanan, advertising agency, Klien, TV-TV Station, semuanya harus bergandengan tangan menopang industri ini. Saya tidak menentang keberadaan lembaga apapun. Media spesialis dan semua pihak yang terkait dalam industri periklanan indonesia adalah mitra. Jadi, yang saya teriakan adalah Aturan Main bisnisnya atau kalau meminjam istilah orde baru disebut Tata Niaga Iklan (TNI).

TNI lebih baik dari proteksi
Sejak dulu saya berpendapat advertising agency lokal tidak butuh proteksi. Apalagi di jaman globalisasi. Proteksi justru akan memperuncing hubungan antara advertising agency lokal dan agency multinasional. Dan akhirnya akan merembet ke pihak-pihak lainnya. Situasinya akan semakin runyam. Semua orang sudah letih membahas masalah klasik ini. Yang dibutuhkan, sekali lagi, adalah aturan main yang fair. System fee yang jelas. Kompetisi berdasarkan perang harga sangat tidak realistis. Walaupun belum dicek keabsahannya, saya pernah mendengar sudah ada pihak yang menawarkan media fee sampai -2% (Minus 2%). Bayangkan, orang ngasih kerjaan ke kita tapi kitalah yang harus bayar ke mereka. Betul-betul tidak sehat. Semoga berita itu tidak betul.

Kebersamaan itu penting
Meningkatkan industri periklanan indonesia ini agar menjadi sehat adalah kerja kolektif. Selain aturan main dibakukan, yang perlu dimiliki adalah semangat kebersamaan. Dengan kekompakan antara advertising agency, media , Klien, Media House dan semua lembaga terkait lainnya maka industri ini akan maju dan setiap elemennya akan mampu bertahan hidup. Sejak kecil kita sudah diajarkan filosofi sapulidi, bahwa dengan bersatu kita akan menjadi kuat, sebaliknya sebatang lidi amat mudah dipatahkan.

Kebersamaan seperti apakah yang kita butuhkan?
Iim Ibrahim, Finance Director Ogilvy, memberikan ilustrasi yang sangat baik dan mudah dicerna. Begini ceritanya: Dahulu kala di Belanda ada orang Indonesia jualan mie telor yang dia impor dari Indonesia. Dia beli Rp 10, dijual Rp 25. Margin Rp 15. Tentu laku keras karena cuma dia satu-satunya yg mensupply mie telor. Temannya sesama orang Indonesia tergiur dan ikutan jual mie telor. Dia beli Rp 10, namun dia jual Rp 20 untuk menarik konsumen. Tentu laku keras, konsumen tentunya beralih ke harga yang lebih murah. Seterusnya, ada lagi orang Indonesia yg ikutan jual mie telor. Dia banting harga lagi. Ahirnya harga jual mie telor tidak lebih dari Rp 12. Margin hanya Rp 2,-

Dahulu kala juga di Belanda juga, ada orang Thailand jualan Tom Yam Goong, yg bahan-bahannya dia impor dari Bangkok. Dia beli Baht 10, jual Baht 25. Margin Baht 15. Tentu laku keras karena dia satu-satunya yg mensupply Tom Yang Goong. Temannya sesama orang Thai tergiur dan ikutan jual Tom Yang Gung. Namun berbeda dengan orang Indonesia, yang dia lakukan adalah mendatangi orang pertama dan memberitahu bahwa dia akan jualan Tom Yang Goong juga. Maka kedua orang Thai itu sepakat untuk membagi daerah operasi dan harga jual tetap Baht 25. Dan seterusnya... Margin tetap Baht 15.

Kebersamaan seperti inilah yang kita perlukan. Semuanya senang. Semuanya untung. Konsumen ikut senang karena tidak kebingungan dan tidak merasa dibohongi sebab beli di mana pun dikenakan harga yang sama. Etika bisnis seperti inilah yang perlu ada agar industri periklanan bisa berkembang..

Lihatlah esensinya, filosofinya, rohnya. Semangatnya! Janganlah lalu secara membabi-buta menyerang contohnya. Adalah suatu pemikiran yang kerdil bila mendebat dengan mengatakan;” Gile lu ye!!!Ini kan bisnis advertising. Masa disamain sama Mie telor?” Hilang lagi dong esensinya?

TNI didukung semua pihak
Spesialisasi memang membuat sudut pandang jadi berbeda, namun tujuannya bermuara pada satu hal. Semua pihak tanpa kecuali membutuhkan industri yang sehat agar kita bisa berkembang. Inilah sebagian pendapat dari mereka.

Henry Saputra, Presiden direktur Metro-Publicis Indonesia mengirim sms yang bunyinya: "Artikel Anda di ADOI sangat menarik. Sebetulnya advertising agency berhak atas paling tidak 2/3 fee atas dasar komisi atau retainer fee 1 tahun. Andaikan semua klien berpegang pada aturan main ini maka tidak ada masalah bahkan advertising agency bisa lebih profitable tanpa harus mempunyai Media Department. Pekerjaan Rumah besar bagi kita untuk meluruskan masalah ini."

Ricky Pesik, Managing Director Biro Iklan Lokal, Satucitra, juga berpendapat bahwa proteksi bagi advertising agency lokal bukanlah jawaban. Yang harus dikedepankan adalah aturan main yang jelas terutama sistem fee yang teratur. Gimana industri periklanan Indonesia mau berkembang kalau aturannya amburadul?

Dari sisi klien, Erik Meijer, Vice President Marketing Telkomsel juga menggarisbawahi bahwa aturan main memang perlu dibenahi. Bahkan beliau mendukung system royalty fee dijadikan sebagai salah satu pertimbangan, dengan catatan perhitungannya perlu dipikirkan secara cermat.

Anton Ardiantoro dari media advertising spesialis Activate juga mendukung perlunya aturan main yang jelas serta sistem fee yang ideal yang perhitungannya menguntungkan semua pihak.

Niken Rachmad, Ketua APPI (Asosiasi Pengusaha Pengiklan Indonesia), menanggapi artikel saya dengan mengatakan “Aku setuju sekali....Sebenarnya kita juga kadang2 bingung dengan sistem di periklanan Indonesia, terlalu sering berubah. Baik sekali kalau antara specialist groups di dunia periklanan bisa tercapai kata sepakat untuk suatu sistem yang menguntungkan semua pihak. Pada gilirannya nanti klien juga akan diuntungkan.... Bukan begitu?”

TNI harus segera diaktifkan
Triawan Munaf mengaku agencynya selalu memperoleh fee dari media padahal kliennya menggunakan jasa media spesialis. Begitu juga beberapa advertising agency lainnya. Nah…kalau sudah begini kan seharusnya masalahnya tidak susah. Sekarang kita tinggal duduk bareng-bareng, mencari model yang paling baik dan menguntungkan semua pihak…kemudian kita bakukan menjadi standar yang berlaku dalam industri periklanan indonesia ini.

Serah terima pengurus P3I telah dilakukan. Saya berdoa semoga pengurus baru PPPI bisa mengambil kebijakan yang yang cermat sebelum situasi makin memburuk. Kalau pun misalnya harus ada biaya untuk mewujudkan kebijakan itu, rasanya banyak agency yang rela menyumbang PPPI agar kita memiliki TNI yang baik dan mempunyai kekuatan hukum. Industri yang sehat akan membuat kita besar bersama. Dan dunia periklanan, yang kata sementara orang sudah kehilangan fun-nya, akan kembali ke situasi seperti sediakala.

Bila ada komunikasi yang intens di antara kita, saya yakin hal ini bisa dilakukan! Boleh percaya boleh tidak : konon kelemahan orang yang bergerak dalam bidang komunikasi justru dalam hal komunikasi antara mereka sendiri.

Zaki ( http://zaki-adverthink.blogspot.com/ )

Sumber : millis creative circle indonesia

Share di Sosmed

1 comment:

M.rezza gunawan said...

wah ini artikel yang kapan mas ? ternyata ada juga masalah kaya gini ya.. nice info :)

Arsip

Pembaca

Powered By Blogger
Copyright © Pemasaran dan Periklanan. Template CB